Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Sekeping Subuh di Kuala Lumpur: Sebuah Catatan Perjalanan



raunholic - Ada sesuatu yang selalu menarik hati saya saat menikmati subuh di berbagai kota yang saya kunjungi. Namun, satu hal yang saya rasa menjadi kekhasan tersendiri dari ibukota Jakarta adalah keberlimpahan masjid dan mushalla yang menyebar di hampir setiap sudut kota. Suara tilawah dan lantunan sholawat menjelang subuh terdengar seronok, menciptakan suasana religius yang begitu khas. Ini berbeda sekali dengan pengalaman saya di Kuala Lumpur.

Pagi itu, dari sebuah hotel di pusat Kuala Lumpur, saya bersama teman-teman dan seorang muslim dari India memutuskan untuk keluar mencari masjid untuk shalat subuh berjamaah. Sayup-sayup terdengar suara azan, namun menemukan masjid yang dekat seolah menjadi tantangan tersendiri. Setelah berjalan berkeliling dan mencoba mencari petunjuk, kami akhirnya berakhir di surau hotel untuk melaksanakan shalat.

Bagi saya, ini pengalaman yang cukup berbeda. Di Jakarta, saya terbiasa dengan mudahnya menemukan masjid atau mushalla di dekat mana pun saya berada. Kuala Lumpur, meskipun dikenal sebagai kota yang modern dan multikultural, tampaknya memiliki aturan berbeda terkait penyebaran masjid. Saya mendengar bahwa di Malaysia, ada pandangan bahwa satu kawasan cukup memiliki satu masjid, sehingga keberadaan masjid tidak sebanyak di Jakarta.

Selain itu, suasana pagi di Kuala Lumpur juga terasa lebih senyap. Tidak ada tilawah atau sholawat yang biasanya mengiringi waktu subuh di Jakarta. Mungkinkah ini karena sebagian komunitas di sini berpegang pada pendapat bahwa mengumandangkan tilawah atau sholawat tidak dilakukan di zaman Nabi sehingga dianggap bid'ah? Saya tidak sepenuhnya tahu, tapi perbedaan ini cukup terasa bagi saya.

Subuh di Kuala Lumpur mengajarkan saya satu hal penting—bahwa saya merasa sangat terbantu oleh keberadaan masjid dan mushalla yang melimpah di Indonesia. Tidak hanya untuk memudahkan shalat berjamaah, tetapi juga memberikan rasa nyaman dengan syiar yang menenangkan melalui tilawah dan zikir di pagi hari.

Tentu saja, saya tetap menghargai perbedaan pandangan dan praktik keagamaan di tempat-tempat yang saya kunjungi. Di sisi lain, bagi saya, memulai hari dengan lantunan Quran dan sholawat di masjid adalah syiar yang menyejukkan hati, sebuah tradisi yang harus dijaga. Namun, hal ini juga perlu dilakukan dengan bijaksana, memperhatikan kenyamanan masyarakat sekitar dengan mengatur volume dan durasi yang tidak berlebihan.

Setiap perjalanan selalu memberikan pelajaran baru. Sekeping subuh di Kuala Lumpur kali ini mengingatkan saya betapa beruntungnya saya bisa merasakan keberadaan syiar agama yang kuat di kota seperti Jakarta, dan sekaligus menghargai kekayaan perbedaan yang ada di setiap tempat yang saya singgahi.

Bagaimana menurut kalian? Punya pengalaman subuh yang menarik di kota lain? Jangan ragu berbagi di kolom komentar!

(Ustadz KS)