Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bakajang: Tradisi Unik Menghias Perahu di Nagari Gunung Malintang



#raunholic -- Masyarakat Nagari Gunuang Malintang, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota memiliki tradisi unik yang dilakukan setiap memasuki Hari Raya Idul Fitri, yaitu tradisi Bakajang. Masyarakat menaiki perahu hias untuk saling mengunjungi dan bersilaturrahmi saat Lebaran.

Menurut bahasa Melayu Kuno, kajang berarti perahu atau sampan, dan kajang ini digunakan sebagai alat mengarungi Batang Mahat untuk silaturahmi.

Kegiatan ini dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri dengan tujuan meningkatkan silaturahmi antara anak kemenakan dari empat suku yang ada di jorong nagari Gunuang Malintang tersebut.

Adapun keempat suku yaitu Suku Domo Jorong Koto Lamo yang dipimpin Datuak Bandaro, Suku Melayu Jorong Batu Balah yang dipimpin Datuak Sati, Suku Pagar Cancang Jorong Boncah yang dipimpin Datuak Paduko Rajo.

Selain itu, ada juga Suku Piliang Jorong Koto Masjid yang dipimpin Datuak Gindo Simarajo. Hadir juga petinggi adat nagari serta bundo kanduang dan Pemkab di Balai Nagari Gunuang Malintang.

Tradisi ini pada dasarnya adalah tradisi silaturahmi masyarakat Nagari Gunung Malintang dalam suasana hari raya Idul Fitri. Acara ini digelar di tepi sungai Batang Maek secara meriah karena setiap jorong akan berlomba menghias perahu yang disebut kajang.


Jika ditelisik dari perjalanan sejarah serta bahasa,  Bakajang memiliki dua pengertian, yakni perahu dan pembaharuan. Perahu, katanya, merupakan alat transportasi nenek moyang warga Gunuang Malintang yang tinggal di pinggiran Batang Maek, pada zaman dulu.
Sedangkan, pembaharuan, diartikan sebagai kegiatan memperbaharui silaturrahmi antara mamak dengan kemenakan serta anak nagari, yang digelar setiap awal bulan Syawal atau setelah Hari Raya Idul Fitri.
Bakajang sendiri mempunyai arti berlayar menggunakan perahu kajang. Perahu ini beratapakan dedaunan yang sudah dikeringkan dan dirakit dengan rotan agar menyerupai seperti selembar atap. Atap ini berfungsi untuk pelindung dari panas dan hujan.

Pada masa lampau, kajang merupakan moda transportasi satu-satunya masyarakat Nagari Gunung Malintang. Namun, seiring perkembangan zaman, transportasi kajang sudah tidak digunakan lagi. Untuk mengenang hal itulah, masyarakat mengadakan tradisi Bakajang.

Saat ini, Bakajang menjelma menjadi ajang perlombaan menghias perahu. Para pesertanya secara umum adalah pemuda yang tergabung dalam kelompok mewakili masing-masing jorong di Nagari Gunung Malintang.

Pada zaman dahulu, Bakajang hanya menggunakan perahu berhiaskan kain. Seiring waktu, terjadi perubahan pada perahu, baik dari segi bentuk, ukuran, dan bahan. Bahkan, ada perahu yang menjelma seperti kapal pesiar.




Dana untuk menghias sebuah kajang tak jarang mencapai jutaan. Selain mengasah kreativitas, tradisi ini bermakna sebagai ajang silaturahmi dan hiburan bagi masyarakat Nagari Gunung Malintang.

Di aliran Batang Mahat (Maek, red) sebanyak lima buah perahu sudah disulap para pemuda di empat Jorong menjadi kapal berkuran besar. Kapal-kapal tersebut dirancang berbagai bentuk, menyerupai kapal veri. Guna merangkai kapal-kapal itu, para pemuda menyebut, menghabiskan biaya hingga mencapai Rp 12-15 juta per unitnya.

Acara alek Bakajang, merupakan warisan nenek moyang yang terus digalakkan masyarakat hingga sekarang, terutama anak muda. Melihat keunikan dan langkah masyarakat dalam melestarikannya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia menganugerahkan Bakajang sebagai atraksi budaya terbaik tingkat nasional dalam ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) Award 2021 pada Selasa (30/11/2021). [budi]